TRADISI
PERKAWINAN ENDOGAMI DAN
SANKSI ADAT
PADA PELANGGARNYA
DI DESA
PAKRAMAN TENGANAN PEGRINGSINGAN,
DESA TENGANAN,
KECAMATAN MANGGIS,
KABUPATEN
KARANGASEM, PROVINSI BALI
I.Pendahuluan
Indonesia sebagai
sebuah negara kepulauan memiliki beraneka ragam adat, nilai, budaya. Agama
maupun kebiasaan hidup. Heterogenitas struktur kehidupan masyarakat semacam ini
dipandang sebagai potensi kekayaan bangsa dan warisan budata yang perlu
dipahami oleh setiap lapisan masyarakat. Salah satu dari warisan tersebut
adalah system Endogami adalah suatu perkawinan selang etnis, klan, suku, atau
kekerabatan dalam sekeliling yang terkait yang sama.
Menurut Sunarto (2004)
perkawinan endogami merupakan perkawinan dengan anggota dalam kelompok yang
sama, sedangkan Goode (2007) menyatakan bahwa perkawinan endogami merupakan
suatu bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat yang hanya memperbolehkan
anggota masyarakat kawin atau menikah dengan anggota lain dari golongan
sendiri. Dalam kamus Bahasa Indonesia (2008:372) Perkawinan endogami adalah
prinsip perkawinan yang mengharuskan orang mencari jodoh dilingkungan sosialnya
sendiri. Dari ketiga pengertian tentang perkawinan endogami tersebut maka dapat
ditarik pengertian bahwa perkawinan endogami adalah perkawinan yang
dilaksanakan pada satu masyarakat yang memperbolehkan anggotanya menikah dengan
sesama anggota dalam masyarakat tersebut. Lebih jelasnya, perkawinan endogami
ini adalah perkawinan antar kerabat atau perkawinan yang dilakukan antar sepupu
(yang sedang memiliki satu keturunan) adil dari pihak ayah sesaudara
(patrilineal) atau dari ibu sesaudara (matrilineal). Kaum kerabat boleh menikah
dengan saudara sepupunya karena mereka yang terdekat dengan garis utama
keturunan dipandang sbg pengemban tradisi kaum kerabat, perhatian yang akbar
dicurahkan terhadap silsilah atau genealogy. Lebih lanjut Sunarto (2004)
menyatakan bahwa terdapat bermacam-macam jenis perkawinan endogami yang terjadi
dalam masyarakat yaitu : Endogami ras agama, maupun suku. Adapun secara
lebih rinci batas endogamy
dapat berupa endogami agama, endogami desa, endogami suku/keturunan, endogami
ekonomi ataupun endogami kasta. Misalnya endogami agama yang merupakan larangan
sebagai melakukan perkawinan dengan seseorang yang memiliki agama yang beda
dari agama yang kita anut. Seperti endogami kasta pada warga Bali, hal hadir
larangan sebagai melakukan perkawinan dengan pihak dari luar kasta.
Istilah endogami sebenarnya
memiliki guna yang relatif, sehingga kita selalu perlu menjelaskan apa
batas-batasnya. Penentukan batas-batas tersebut tergantung pada aturan sejak
dahulu kala yang dipegang oleh setiap warga yang tentunya akan beda selang
warga yang satu dengan warga pautannya. Model perkawinan endogami juga pernah berlaku pada zaman
kerajaan di Bali. Geertz & Geertz (2017:198-220), menyebutkan ada empat
tipe perkawinan bangsawan di Bali. Pertama, pernikahan endogamy sesama sub
dadia (hubungan kekerabatan satu leluhur yang garis hubungannya sudah tidak jelas. Kedua, pernikahan
eksogami pada sub dadia bangsawan, tetapi tetap dari sub dadia yang sama.
Ketiga, pernikahan eksogami antara dadia bangsawan yang tidak ada kaitannya,
tetapi mempunyai peringkat yang sama. Keempat, Pernikahan eksogami antara
wanita biasa dan bangsawan. Wanita biasa yang menikah dengan bangsawan di Bali
akan mendapat titel khusus yakni mekel atau jro. Sebaliknya, wanita bangsawan
yang menikah dengan pria dari keluarga biasa
dianggap melanggar hokum yang berlaku pada saat itu.
Di Desa Adat Tenganan
Pegrisingan, Karangasem bahwa perkawinan endogamy masih menjadi tradisi dimana
perlakuannya hampir sama dengan
perkawinan antarwangsa di Bali. Perlanggaran atas larangan perkawinan eksogami walaupun kedua mempalai sama-sama beragama Hindu dilaksanakan atas dasar saling
mencitai, memenuhi peraturan
undang-undang perkawinan di Indonesia, tetapi
mendapat perlakuan diskriminatif berupa sanksi adat. Sanksi adat yang dikenakan
tidak hanya dirasakan oleh
kedua mempalai, tetapi juga orang tuanya. Fenomena perkawinan endogami di Desa Adat Tenganan
Pegringsingan Bali menarik untuk diungkapkan.
Pengungkapan diperlukan karena masyarakat
desa ini masih menerapkan sanksi adat
pada perkawinan eksogami walaupun sanksi tersebut bertentangan dengan hak-hak
asasi manusia, ajaran agama, dan undang-undang perkaw inan di Indonesia.
II. Pembahasan
Desa Tenganan Pegringsingan
memiliki jarak ke pusat pemerintahan kabupaten Karangasem (Kota Amplapura) kurang
lebih sekitar 17 kilometer, sedangkan dari pusat kota Denpasar memiliki jarak
kurang lebih 65 kilometer. Desa Tenganan merupakan salah satu Desa Kuna (Bali
Age) di Bali keberadaannya hingga kini masih mempertahankan tradisi, adat
istiadat dan nilai-nilai budaya yang masih berpegang teguh pada aturan adat
Desa (awig-awig), karena jika mereka melanggar aturan adat desa akan dikenakan
sanksi baik berupa denda maupun dikeluarkan dari keanggotaan krama Desa.
Tradisi, adat istiadat, agama, kebudayaan, agama dan kepercayaan masyarakat
Desa Tenganan diturunkan oleh para leluhur dan memiliki keunikan tersendiri
seperti hukum adat, sistem pola pemukiman, upacara kematian dan juga upacara
pernikahan.
Di Desa Tenganan Pegringsingan warganya tidak boleh melakukan perkawinan eksogami kecuali perkawinan
endogami antarwarga adatnya sendiri. Warganya khawatir dan takut melakukan
perkawinan eksogami karena di desanya terdapat nilai-nilai kultural yang sangat
sulit diubahnya. Mereka masih terikat dngan konsepsi yang berakar pada nilai-
nilai budaya tradisional yang menilai perkawinan endogamy sebagai perkawinan
yang paling ideal bahkan dianggap perkawinan terhormat. Di desa adat ini hanya
warganya melakukan perkawinan endogami yang mempunyai hak istimewa di desa
adatnya. Keistimewaan hak dimaksud adalah hak sebagai krama desa. Tanpa menjadi
mekrama desa, mereka tidak boleh duduk dalam struktur sosial, mengikuti
sangkepan (rapat) di Bale agung untuk ikut membuat keputusan desa. Sebaliknya,
dinilai rendah jika melakukan perkawinan eksogami karena semua haknya dicabut
termasuk hak untuk tinggal di desa adatnya.
Kepala Desa Tenganan
Pegringsingan, Krama desa di daerah Tenganan Pegringsingan mengatakan bahwa
desa Tenganan Pegringsingan juga memiliki awig-awig (aturan) sendiri, dan
masyarakat di desa ini sangat taat dalam mempertahankan tradisi, adat istiadat,
nilai budaya serta agama. Didalam awig-awig (aturan) juga ditetapkan bahwa jika
ada warga masyarakat yang melanggar akan di kenakan sanksi adat seperti : tidak
diajak mekrama desa serta kehilangan hak serta kewajiban sebagai krama adat,
selain itu, konsekwensi lain bagi krama adat yang melanggar adalah dibuang ke
banjar Kangin / pande. Sistem perkawinan yang dipergunakan pada desa Tenganan
Pegringsingan adalah sistem endogami yaitu pemuda desa Tenganan Pegringsingan
harus melakukan perkawinan dengan seorang wanita yang berasal dari desa yang
sama. Sesuai dengan yang diungkap oleh Goode (2007) bahwa perkawinan endogami
merupakan suatu bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat yang hanya
memperbolehkan anggota masyarakat kawin atau menikah dengan anggota lain dari
golongan sendiri. Sistem perkawinan ini bertujuan agar kepemilikan lahan serta
rumah yang ada di desa teta menjadi milik masyarakat desa setempat dan dimiliki
oleh masyarakat luar. Dengan melaksanakan pola perkawinan ini secara otomatis
pasangan ini akan mendapatkan hak serta melaksanakan kewajiban sesuai dengan
awig-awig (aturan) desa yaitu diberikan satu kapling tanah seluas lebih kurang
200 meter persegi serta diperbolehkan menebang pohon-pohon yang ada di hutan
untuk membangun rumah. Selain itu, pasangan yang menikah di desa ini juga
mendapatan hak atas pemberian beras dari desa yang berasal dari sawah-sawah
yang masuk dalam wilayah desa Tenganan serta hak-hak lainnya.
Sebelum melaksanakan
adat perkawinan, seorang pemuda desa Tenganan Pegringsingan sesuai dengan awig
wajib melaksanakan beberapa ritual yaitu diwajibkan untuk mengikuti kegiatan
sekeha teruna serta telah mengikuti upacara meteruna nyoman (upacara akil
balik). Dalam upacara meteruna nyoman ini beberapa pemuda akan tinggal didalam
Menurut Timur sebagai
mantan kliang (ketua) Desa Adat Tenganan Pegringsingan, tradisi yang lainnya
yang harus ditaati warganya sebelum melakukan perkawinan, yaitu maajak- ajakan
dan metruna nyoman. Maajak-ajakan, yakni pendaftaran diri oleh warganya yang
baru naik dewasa baik warga yang laki-laki maupun perempuan, untuk ikut dalam
metruna nyoman. Metruna nyoman adalah organisasi tradisional pemuda di Desa
Adat Tenganan Pegringsingan dengan keanggotaannya terdiri atas warganya yang
laki-laki yang belum menikah, sedangkan sekaa daha adalah organisasi hanya bagi
warganya yang perempuan. Matruna nyoman, dan sekaa daha wajib dilakukan oleh
semua warganya yang belum menikah. Jika di antara warganya melakukan
perkawinan, tetapi belum maajak-ajakan dan matruna nyoman, mereka akan dikenai
sanksi adat. Sementara pembinaannya dilakukan di asrama selama satu tahun dan
waktu pelaksanaannya tiap hari pada malam hari dari pukul 17.00 hingga pukul 19
00. Materi pembinaannya berkaitan dengan berbagai tradisi, peraturan, dan
upacara keagamaan di desanya. Apabila pemuda atau pemudi belum melaksanakan kegiatan ini maka tidak
akan diperbolehkan untuk melaksanakan upacara perkawinan dan menjadi krama
desa. Dalam awig- awig (aturan) desa juga mengatur sanksi yang diberikan
apabila ada warga yang melaksanakan perkawinan dengan pemuda atau pemudi diluar
desa. Jika seorang pemuda desa Tenganan Pegringsingan melakukan perkawinan
dengan wanita dari luar desa atau memiliki istri lebih dari satu maka mereka
akan kehilangan hak dan kewajiban mereka sebagai krama adat dan diturunkan
statusnya menjadi krama gumipulangan Sedangkan jika seorang pemudi melakukan
perkawinan dengan orang luar, maka wanita tersebut akan bertempat tinggal di
banjar pande / kangin bersama dengan suami di sebelah Timur desa Tenganan
Pegringsingan.
Pola perkawinan endogami
yang dilaksanakan di desa Tenganan Pegringsingan yaitu Mepandik / mebase
(meminang). Mepandik atau mebase merupakan cara perkawinan yang dilaksanakan
seperti perkawinan pada umumnya. Pihak keluarga laki-laki membawa tanda
peminangan yang disebut dngan base suhunan berupa base (sirih), buah pinang,
mako (tembakau), tebu dan buah-buahan, gula bali kepada pihak keluarga perempan
(deha). Tanda peminangan ini dibawa oleh pemuda yang akan meminang dan gadis
yang berasal dari keluarga pihak laki-laki. Keluarga pihak laki-laki dan
perempuan saling berbicara mengenai maksud dan tujuan dari kedatangan pihak
keluarga calon mempelai laki-laki. Setelah pembicaraan selesai, base suhunan
diterima oleh pihak keluarga perempuan dan dijadikan sebagai porosan. Porosan
ini kemudian diberikan kepada pihak laki-laki sebagai tanda bahwa lamaran dari
keluarga pihak laki-laki sudah diterima. sejak diterimanya porosan tersebut
maka gadis yang dilamar sudah sah menjadi tunangan (gelan) truna (pemuda)
tersebut. Apabila jarak antara pertunangan sampai dengan acara perkawinan jauh
maka setiap bulan pihak laki-laki harus membawakan base suluhan kembali menjelang
bulan purnama ke keluarga calon mempelai wanita sampai terlaksananya upacara
perkawinan.
Setelah hari dan tanggal
ditentukan untuk melaksanakan upacara perkawinan, maka keluarga calon mempelai
laki-laki datang ke rumah untuk menjemput calon mempelai wanita. Sebelum pergi,
kedua calon mempelai mepamit dan bersimbuh di hadapan orang tua calon mempelai
perempuan, keluarga calon mempelai perempuan juga ikut mengantar kedua calon mempelai
kerumah keluarga pihak laki-laki. Kedua mempelai harus melalui jelanan diwang
atau pintu masuk, menuju rumah manten (kamar tidur pengantin), dirumah ini
kedua mempelai akan disuguhkan nasi nganten. Kedua calon mempelai tidak
diperbolehkan untuk keluar kamar. Keluarga dari calon mempelai laki-laki
membuat pejati atau nyalanang pejati ke rumah calon mempelai wanita, balai
agung, kelian pauman, kelian dinas dan kepada kepala desa (perbekel) yang
mengirimkan mepejati adalah orang yang sudah menikah dan telah memiliki anak.
Kedua calon mempelai tidak diperkenankan untuk keluar rumah calon mempelai
laki-laki sampai hari baik untuk melangsungkan upacara perkawinan (mebea) tiba.
Dalam sistem adat
perkawinan Endogami di desa Tenganan Pengringsingan terdapat banyak
simbol-simbol yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut.
Berikut ini pembahasan tentang proses pemaknaan simbol-simbol dalam pelaksanaan
sistem perkawinan endogami di Desa Tenganan Pengringsingan. Premis pertama
teori interaksionisme simbolik karya Blumer dalam Ritzer (2011: 392) adalah
manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki
benda-benda itu bagi mereka, dalam hal ini masyarakat desa Tenganan
Pengringsingan melaksanakan sistem perkawinan Endogami sebagai warisan nenek
moyang mereka yang sudah turun-temurun dilaksanakan. Masyarakat Tenganan
percaya apabila mereka melanggar tradisi tersebut makan bencana akan melanda
desa mereka. Disamping itu, mereka merupakan salah satu dari masyarakat Bali
Age (warga asli Bali) akan luntur jika melaksanakan perkawinan dengan orang di
luar desa mereka. Sedangkan premis kedua Blumer dalam Ritzer (2011: 392)
mengatakan bahwa makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam
masyarakat manusia satu dengan manusia lainnya. Orang-orang dalam desa Tenganan
Pengrisngsingan saling berinteraksi satu dengan lainnya sehingga memaknai
simbol-simbol yang ada didalam interaksi tersebut sehingga sampai sekarang.
Pada pemuda dan pemudi yang melaksanakan beberapa ritual wajib akan diberikan
pengarahan dari pada tetua-tetua adat desa yang berisikan tentang makna-makna
yang ada pada setiap kehidupan masyarakat desa Tenganan.
III. Bentuk Sanksi Bagi Pelanggar Tradisi Perkawinan Endogami
1.
Sanksi Denda
Masyarakat Tenganan
Pegringsingan sampai saat ini masih menganggap bahwa perkawinan endogami
merupakan perkawinan yang idial dan terhormat. Sebaliknya, perkawinan eksogami
merupakan perkawinan yang tidak baik dan dilarang. Pelanggaran atas larangan
perkawinan tersebut mengakibatkan mempelai dan orang tuanya sama-sama dikenai
sanksi adat.
Bagi umat Hindu di Bali,
istilah “sanksi adat” lebih populer dengan sebutan “pamidanda”. Windia
menyatakan ada tiga jenis pamidanda, yaitu arta denda, sangaskara danda, dan
jiwa danda. Artadanda adalah denda dalam wujud materi berupa berbagai benda
yang mempunyai nilai ekonomi atau berupa uang. Uang yang dimaksud berupa uang
kertas atau uang kepeng.Akan tetapi, pembayaran denda sama sekali belum pernah
dilakukan dengan menggunakan cek atau kartu kredit. Dalam danda arta juga
dilakukan dengan ayahan panukun kasisipan, yaitu kewajiban untuk melakukan
perbuatan tertentu (ngayah) selama waktu tertentu sebagai pengganti atas
kewajiban membayar danda materi atau uang. Sangaskara danda adalah sanksi denda
berupa melaksanakan upacara tertentu. Denda ini dikenakan kepada warga yang melakukan
perbuatan tertentu yang dianggap menimbulkan leteh (suatu keadaan yang dianggap
suci) seperti pencurian, pembunuhan, dan berbagai tindakan pidana yang lainnya.
Perbuatannya tersebut tidak hanya dianggap merugikan secara material tetapi
juga menimbulkan ketidakseimbangan batin. Pelaksanaan sangaskara danda berupa
upacara prayascita atau upacara pecaruan. Danda sangaskara biasanya juga
dibebankan terhadap perbuatan yang dianggap dapat menimbulkan perasaan tidak
menyenangkan, seperti mengeluarkan kata-kata kotor, mencaci maki, dan
sebagainya. Jiwa danda atau atma danda adalah sanksi yang berkaitan dengan jiwa
pelaku yang melakukan pelanggaran. Pada zaman dahulu hukuman ini dilakukan
dengan tikaman sebilah keris atau menenggelamkan ke laut bagi yang melanggar.
Akan tetapi dewasa ini jiwa danda dapat berupa pengaksama (menyampaikan
permintaan maaf) di hadapan paruman (rapat) desa. Sanksi denda yang harus dibayar oleh
orang tua mempelai sebanyak 75.000 uang kepeng asli. Dewasa ini di Bali uang
kepeng asli per keteng (biji) harganya Rp 3 000. Dengan demikian, denda arta
yang mesti dibayar oleh orang tua mempelai Rp 225.000.000.
Seiring dengan
perkembangan zaman, Timur sebagai mantan Kliang Desa Tenganan Pegringsingan
menyatakan bahwa sanksi denda arta atas pelanggaran larangan perkawinan
eksogami sudah mengalami perubahan. Artinya, warga yang melanggar larangan
perkawinan eksogami tidak lagi membayar Rp 225.000.000 tetapi Rp.18.000.000.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kemanusiaan, yaitu meringankan beban
keluarga mempelai. Di samping itu memepali juga sudah kehilangan semua hak di
desanya. Orang tua memepelai juga tiap bulan wajib membayar uang Rp1000, kepada
desa adat sebagai tanda kesalahan pelanggaran atas larangan perkawinan
eksogami.
2.
Sanksi Moral
Setiap gangguan atau
benturan terhadap keseimbangan kehidupan orang
perorangan atau orang-orang banyak sebagai satu kesatuan dalam
ketertiban hukum dianggap sebagai suatu pelanggaran adat. Delik adat adalah
semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kerukunan, ketertiban,
keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat bersangkutan, baik sebagai
akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekolompok orang maupun
pengurus adat sendiri. Perbuatan yang melanggar adat dipadang dapat menimbulkan
keguncangan sehingga tergganggu kesehimbangan kosmos. Keguncangan dapat
menimbulkan reaksi masyarakat berupa sanksi adat. Sebagaimana dikutip oleh
Soeroyo Wignjodipoero menjelaskan bahwa sanksi adat sangat diperlukan untuk
mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu. Di samping itu juga meniadakan
atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran
adat. Di pihak lain Sianturi menyatakan bahwa sanksi adat memiliki beberapa
fungsi, yaitu:
1.
sebagai
alat pemaksa agar seseorang atau warga mennaati norma-norma yang berlaku,
2.
sebagai
norma hukum untuk ditaati, dan
3.
sebagai
akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum.
Senada dengan pendapat Sianturi, Çantika
mengemukakan bahwa sanksi adat dapat digunakan untuk memulihkan kepada keadaan
trepti (tertib), dan sukerta (tenteram) yakni adanya keseimbangan dari sattyam
(kebenaran), siwam (kesusilaan), dan sundaram (kebahagiaan) yang terjawantah ke
dalam filosofis tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan)
Sanksi adat yang dijatuhkan
atas pelanggaran larangan perkawinan eksogami di Desa Adat Tenganan
Pegringsingan tidak hanya berupa sanksi denda, tetapi juga sanksi moral. Sanksi
moral adalah sanksi batin berupa rasa malu atau rasa bersalah (berdosa).
Beberapa pakar mengemukakan bahwa sanksi moral di Bali bebannya jauh lebih
besar dibandingkan dengan hukuman badan, kesalahan- kesalahan ringan
mengakibatkan denda, dan penyitaan harta benda, atau penundaan sementara dari
masyarakat. Akan tetapi, hukuman bagi kesalahan-kesalahan besar bervariasi
antara boikot yang menakutkan dari semua kegiatan desa sampai pengucilan tetap,
pengusiran sepenuhnya dari desa. Seseorang yang disingkirkan dari desanya tidak
diijinkan masuk ke kemunitas lain. Dia benar-benar menjadi terbuang sebagai sebuah
hukuman yang jauh lebih berat dari kematian fisik bagi pikiran orang Bali
karena seseorang secara terbuka dipermalukan, membunuh dirinya sendiri.
Sanksi kanoroyang
merupakan sanksi moral yang paling berat pada perkawinan eksogami di Desa
Tenganan Pegringsingan. Warga yang dikenai sanksi adat kasepekang saja sudah
diangap berat apalagi sanksi kanoroyang. Krama adat yang dijatuhi sanksi
kasepekang, statusnya masih tetap diakui sebagai krama adat, tetapi ia
ditempatkan di luar tata hukum. Maksudnya, krama yang bersangkutan tidak
dikenai aturan hukum adat, seperti tidak mendapatkan pemberitahuan (tan polih
arah-arahan), tidak mendapat layanan kentongan (tan polih pasuwaran kulkul),
dan tidak mendapat bantuan banjar. Ia juga masih dapat menggunakan kuburan, tetapi
tidak mendapatkan bantuan layanan banjar
atau desa pakraman. Sebaliknya, dalam sanksi adat kanoroyang, status
yang bersangkutan sudah tidak lagi sebagai warga desa pakraman karena tidak
hanya dikucilkan, tetapi juga diusir dari desanya. Wayan Koti Cantika
membedakan antara sanksi adat kasepekang dan kanoroyang. Dalam sanksi adat
kasepekang, seseorang yang dikenai sanksi masih diakui keberadaannya sebagai
krama, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar/ desa pakraman.
Sebaliknya, dalam sanksi adat kanoroyang, seseorang tidak saja dikucilkan,
tetapi juga dianggap tidak ada.
Akibat pelangaran atas
larangan perkawinan eksogami di Tenganan Pegringsingan tidak hanya dirasakan
oleh mempelai, tetapi juga orang tuanya. Orang tua mempelai harus membayar
sejumlah uang, sedangkan sanksi untuk anaknya yang melakukan perkawinan
eksogami tidak hanya diusir, tetapi juga kehilngan semua hak-haknya di desa
adat tersebut. Sanksi adat ini diputuskan melalui sangkepan (rapat) desa adat
yang dihadiri oleh seluruh krama desa adat. Penjatuhan sanksi juga diputuskan
secara terbuka dalam forum sangkepan desa adat. Sistem pengambilan keputusan
tersebut menimbulkan rasa malu dan rasa
berdosa dari pihak keluarga mempelai karena anaknya berperilaku tidak sesuai
dengan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan yang berlaku di
masyarakatnya terutama berkaitan dengan perkawinan eksogami. Penjatuhan sanksi
adat menyebabkan, mempelai sama sekali tidak memiliki hak termasuk hak untuk
tinggal di desa adatnya.
IV. Kesimpulan
Masyarakat Desa Adat
Tenganan Pegringsingan masih kental dengan tradisi perkawinan endogami antar
sesama warga adatnya sendiri. Perkawinan ini dianggap sebagai model perkawinan
yang ideal dan terhormat. Sebaliknya, perkawinan eksogami dilarang dan dikenai
sanksi adat. Sanksi tidak hanya dijatuhkan kepada kedua mempelai, tetapi juga
kepada orang tuanya.
Alasan-alasan sanksi
adat pada perkawinan eksogami, yaitu melestarikan tradisi, menjaga sistem
kekerabatan, dan menjaga keseimbangan. Dalam konteks melestarikan tradisi, sanksi adat digunakan untuk menjaga dan
memelihara serta melestarikan perkawinan endogami sebagai model perkawinan yang
paling ideal dan terhormat. Dengan melestarikan tradisi, keaslian unsur-unsur
kebudayaan, khususnya perkawinan endogami sesama warga adat tidak punah. Dalam
konteks kekrabatan, sanksi adat digunakan untuk menjaga dan mempertahankan
kemurnian sistem kekerabatan bilateral di desa adat. Dengan kekerabatan ini,
kedua mempelai sama-sama setara kedudukannya di mata hukum. Artinya, kedua
memepelai mempunyai hak yang sama sebagai ahli waris. Dalam konteks
keseimbangan, sanksi adat dalam perkawinan eksogami digunakan untuk menjaga
keseimbangan tri hita karana, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan.
Perkawinan eksogami dianggap telah membawa keletehan sehingga keseimbangan Desa
Adat Tenganan Pegringsingan terganggu.
Bentuk sanksi adat pada
perkawinan eksogami ada dua macam, yaitu sanksi denda dan sanksi moral. Terkait
dengan sanksi denda, orang tua mempelai
harus membayar uang juga harus membayar uang tiap bulan Rp1000 selama hidupnya.
Dalam konteks sanksi moral, kedua mempelai dan orang tuanya terbebani secara
batin karena perkawinan yang dilakukan merupakan perkawinan yang terlarang.
Pelanggaran atas larangan perkawinan tersebut menyebabkan keletehan di desa
adat. Mempelai dan orang tuanya harus menanggung rasa malu selama hidupnya
karena telah menyebabkan kecemaran desa adat.
Sanksi adat pada
perkawinan eksogami menunjukkan ketidakemansipasian, tidak memperoleh
kesejahteraan dari desa adatnya, dan kehilangan semua hak-haknya di desanya.
Dalam konteks ketidakemansipasian, warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan tidak
diperbolehkan melakukan perkawinan dengan warga diluar desa adatnya.
Pelanggaran atas larangan perkawinan eksogami dikenai sanksi adat. Dalam
konteks tidak memperoleh kesejahteraan dari desa adat, warga yang melakukan
perkawinan eksogami tidak berhak menerima kesejahteraan dari desa adat. Dengan
perkawinan eksogami, semua hak mempelai
dicabut termasuk hak untuk memperoleh pembagian hasil dari desa adat. Dengan
pencabutan ini praktis mempelai tidak mendapatkan kesejahteraan. Dalam konteks
kehilangan semua hak di desanya, yaitu warganya yang melanggar laragan
perkawinan eksogami menyebabkan semua hak dicabut sehingga mempelai sama sekali
tidak memiliki hak di desanya atau tidak dianggap warga lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiana, I Nyoman. 2012. Konstruksi Kawin
Nyeburin Antar Wangsa. Denpasar: Undiknas.
. 2018. Perkawinan
Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali.
Yogyakarta: Histokultural.
Goode, J William.
2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta:
Bumi Aksara.
Comments
Post a Comment