TRADISI PERKAWINAN ENDOGAMI DAN
SANKSI ADAT PADA PELANGGARNYA
DI DESA PAKRAMAN TENGANAN PEGRINGSINGAN,
DESA TENGANAN, KECAMATAN MANGGIS,
KABUPATEN KARANGASEM, PROVINSI BALI

 

I.Pendahuluan

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan memiliki beraneka ragam adat, nilai, budaya. Agama maupun kebiasaan hidup. Heterogenitas struktur kehidupan masyarakat semacam ini dipandang sebagai potensi kekayaan bangsa dan warisan budata yang perlu dipahami oleh setiap lapisan masyarakat. Salah satu dari warisan tersebut adalah system Endogami adalah suatu perkawinan selang etnis, klan, suku, atau kekerabatan dalam sekeliling yang terkait yang sama.

Menurut Sunarto (2004) perkawinan endogami merupakan perkawinan dengan anggota dalam kelompok yang sama, sedangkan Goode (2007) menyatakan bahwa perkawinan endogami merupakan suatu bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat yang hanya memperbolehkan anggota masyarakat kawin atau menikah dengan anggota lain dari golongan sendiri. Dalam kamus Bahasa Indonesia (2008:372) Perkawinan endogami adalah prinsip perkawinan yang mengharuskan orang mencari jodoh dilingkungan sosialnya sendiri. Dari ketiga pengertian tentang perkawinan endogami tersebut maka dapat ditarik pengertian bahwa perkawinan endogami adalah perkawinan yang dilaksanakan pada satu masyarakat yang memperbolehkan anggotanya menikah dengan sesama anggota dalam masyarakat tersebut. Lebih jelasnya, perkawinan endogami ini adalah perkawinan antar kerabat atau perkawinan yang dilakukan antar sepupu (yang sedang memiliki satu keturunan) adil dari pihak ayah sesaudara (patrilineal) atau dari ibu sesaudara (matrilineal). Kaum kerabat boleh menikah dengan saudara sepupunya karena mereka yang terdekat dengan garis utama keturunan dipandang sbg pengemban tradisi kaum kerabat, perhatian yang akbar dicurahkan terhadap silsilah atau genealogy. Lebih lanjut Sunarto (2004) menyatakan bahwa terdapat bermacam-macam jenis perkawinan endogami yang terjadi dalam masyarakat yaitu : Endogami ras agama, maupun suku. Adapun secara lebih rinci batas endogamy dapat berupa endogami agama, endogami desa, endogami suku/keturunan, endogami ekonomi ataupun endogami kasta. Misalnya endogami agama yang merupakan larangan sebagai melakukan perkawinan dengan seseorang yang memiliki agama yang beda dari agama yang kita anut. Seperti endogami kasta pada warga Bali, hal hadir larangan sebagai melakukan perkawinan dengan pihak dari luar kasta.

Istilah endogami sebenarnya memiliki guna yang relatif, sehingga kita selalu perlu menjelaskan apa batas-batasnya. Penentukan batas-batas tersebut tergantung pada aturan sejak dahulu kala yang dipegang oleh setiap warga yang tentunya akan beda selang warga yang satu dengan warga pautannya. Model perkawinan endogami juga pernah berlaku pada zaman kerajaan di Bali. Geertz & Geertz (2017:198-220), menyebutkan ada empat tipe perkawinan bangsawan di Bali. Pertama, pernikahan endogamy sesama sub dadia (hubungan kekerabatan satu leluhur yang garis hubungannya sudah tidak jelas. Kedua, pernikahan eksogami pada sub dadia bangsawan, tetapi tetap dari sub dadia yang sama. Ketiga, pernikahan eksogami antara dadia bangsawan yang tidak ada kaitannya, tetapi mempunyai peringkat yang sama. Keempat, Pernikahan eksogami antara wanita biasa dan bangsawan. Wanita biasa yang menikah dengan bangsawan di Bali akan mendapat titel khusus yakni mekel atau jro. Sebaliknya, wanita bangsawan yang menikah dengan pria dari keluarga biasa  dianggap melanggar hokum yang berlaku pada  saat itu.

Di Desa Adat Tenganan Pegrisingan, Karangasem bahwa perkawinan endogamy masih menjadi tradisi dimana perlakuannya hampir sama dengan  perkawinan antarwangsa di Bali. Perlanggaran atas larangan perkawinan eksogami walaupun kedua mempalai sama-sama beragama Hindu dilaksanakan atas dasar saling mencitai, memenuhi  peraturan undang-undang perkawinan di Indonesia, tetapi mendapat perlakuan diskriminatif berupa sanksi adat. Sanksi adat yang dikenakan tidak hanya dirasakan oleh kedua mempalai, tetapi juga  orang tuanya. Fenomena perkawinan endogami di Desa Adat  Tenganan Pegringsingan Bali menarik untuk diungkapkan. Pengungkapan diperlukan karena masyarakat desa ini masih menerapkan sanksi adat pada perkawinan eksogami walaupun sanksi    tersebut bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, ajaran agama, dan undang-undang perkaw inan di Indonesia.

 

II.      Pembahasan

Desa Tenganan Pegringsingan memiliki jarak ke pusat pemerintahan kabupaten Karangasem (Kota Amplapura) kurang lebih sekitar 17 kilometer, sedangkan dari pusat kota Denpasar memiliki jarak kurang lebih 65 kilometer. Desa Tenganan merupakan salah satu Desa Kuna (Bali Age) di Bali keberadaannya hingga kini masih mempertahankan tradisi, adat istiadat dan nilai-nilai budaya yang masih berpegang teguh pada aturan adat Desa (awig-awig), karena jika mereka melanggar aturan adat desa akan dikenakan sanksi baik berupa denda maupun dikeluarkan dari keanggotaan krama Desa. Tradisi, adat istiadat, agama, kebudayaan, agama dan kepercayaan masyarakat Desa Tenganan diturunkan oleh para leluhur dan memiliki keunikan tersendiri seperti hukum adat, sistem pola pemukiman, upacara kematian dan juga upacara pernikahan.

Di Desa Tenganan Pegringsingan warganya tidak boleh melakukan perkawinan eksogami kecuali perkawinan endogami antarwarga adatnya sendiri. Warganya khawatir dan takut melakukan perkawinan eksogami karena di desanya terdapat nilai-nilai kultural yang sangat sulit diubahnya. Mereka masih terikat dngan konsepsi yang berakar pada nilai- nilai budaya tradisional yang menilai perkawinan endogamy sebagai perkawinan yang paling ideal bahkan dianggap perkawinan terhormat. Di desa adat ini hanya warganya melakukan perkawinan endogami yang mempunyai hak istimewa di desa adatnya. Keistimewaan hak dimaksud adalah hak sebagai krama desa. Tanpa menjadi mekrama desa, mereka tidak boleh duduk dalam struktur sosial, mengikuti sangkepan (rapat) di Bale agung untuk ikut membuat keputusan desa. Sebaliknya, dinilai rendah jika melakukan perkawinan eksogami karena semua haknya dicabut termasuk hak untuk tinggal di desa adatnya.

Kepala Desa Tenganan Pegringsingan, Krama desa di daerah Tenganan Pegringsingan mengatakan bahwa desa Tenganan Pegringsingan juga memiliki awig-awig (aturan) sendiri, dan masyarakat di desa ini sangat taat dalam mempertahankan tradisi, adat istiadat, nilai budaya serta agama. Didalam awig-awig (aturan) juga ditetapkan bahwa jika ada warga masyarakat yang melanggar akan di kenakan sanksi adat seperti : tidak diajak mekrama desa serta kehilangan hak serta kewajiban sebagai krama adat, selain itu, konsekwensi lain bagi krama adat yang melanggar adalah dibuang ke banjar Kangin / pande. Sistem perkawinan yang dipergunakan pada desa Tenganan Pegringsingan adalah sistem endogami yaitu pemuda desa Tenganan Pegringsingan harus melakukan perkawinan dengan seorang wanita yang berasal dari desa yang sama. Sesuai dengan yang diungkap oleh Goode (2007) bahwa perkawinan endogami merupakan suatu bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat yang hanya memperbolehkan anggota masyarakat kawin atau menikah dengan anggota lain dari golongan sendiri. Sistem perkawinan ini bertujuan agar kepemilikan lahan serta rumah yang ada di desa teta menjadi milik masyarakat desa setempat dan dimiliki oleh masyarakat luar. Dengan melaksanakan pola perkawinan ini secara otomatis pasangan ini akan mendapatkan hak serta melaksanakan kewajiban sesuai dengan awig-awig (aturan) desa yaitu diberikan satu kapling tanah seluas lebih kurang 200 meter persegi serta diperbolehkan menebang pohon-pohon yang ada di hutan untuk membangun rumah. Selain itu, pasangan yang menikah di desa ini juga mendapatan hak atas pemberian beras dari desa yang berasal dari sawah-sawah yang masuk dalam wilayah desa Tenganan serta hak-hak lainnya.

Sebelum melaksanakan adat perkawinan, seorang pemuda desa Tenganan Pegringsingan sesuai dengan awig wajib melaksanakan beberapa ritual yaitu diwajibkan untuk mengikuti kegiatan sekeha teruna serta telah mengikuti upacara meteruna nyoman (upacara akil balik). Dalam upacara meteruna nyoman ini beberapa pemuda akan tinggal didalam

Menurut Timur sebagai mantan kliang (ketua) Desa Adat Tenganan Pegringsingan, tradisi yang lainnya yang harus ditaati warganya sebelum melakukan perkawinan, yaitu maajak- ajakan dan metruna nyoman. Maajak-ajakan, yakni pendaftaran diri oleh warganya yang baru naik dewasa baik warga yang laki-laki maupun perempuan, untuk ikut dalam metruna nyoman. Metruna nyoman adalah organisasi tradisional pemuda di Desa Adat Tenganan Pegringsingan dengan keanggotaannya terdiri atas warganya yang laki-laki yang belum menikah, sedangkan sekaa daha adalah organisasi hanya bagi warganya yang perempuan. Matruna nyoman, dan sekaa daha wajib dilakukan oleh semua warganya yang belum menikah. Jika di antara warganya melakukan perkawinan, tetapi belum maajak-ajakan dan matruna nyoman, mereka akan dikenai sanksi adat. Sementara pembinaannya dilakukan di asrama selama satu tahun dan waktu pelaksanaannya tiap hari pada malam hari dari pukul 17.00 hingga pukul 19 00. Materi pembinaannya berkaitan dengan berbagai tradisi, peraturan, dan upacara keagamaan di desanya. Apabila pemuda atau pemudi belum melaksanakan kegiatan ini maka tidak akan diperbolehkan untuk melaksanakan upacara perkawinan dan menjadi krama desa. Dalam awig- awig (aturan) desa juga mengatur sanksi yang diberikan apabila ada warga yang melaksanakan perkawinan dengan pemuda atau pemudi diluar desa. Jika seorang pemuda desa Tenganan Pegringsingan melakukan perkawinan dengan wanita dari luar desa atau memiliki istri lebih dari satu maka mereka akan kehilangan hak dan kewajiban mereka sebagai krama adat dan diturunkan statusnya menjadi krama gumipulangan Sedangkan jika seorang pemudi melakukan perkawinan dengan orang luar, maka wanita tersebut akan bertempat tinggal di banjar pande / kangin bersama dengan suami di sebelah Timur desa Tenganan Pegringsingan.

Pola perkawinan endogami yang dilaksanakan di desa Tenganan Pegringsingan yaitu Mepandik / mebase (meminang). Mepandik atau mebase merupakan cara perkawinan yang dilaksanakan seperti perkawinan pada umumnya. Pihak keluarga laki-laki membawa tanda peminangan yang disebut dngan base suhunan berupa base (sirih), buah pinang, mako (tembakau), tebu dan buah-buahan, gula bali kepada pihak keluarga perempan (deha). Tanda peminangan ini dibawa oleh pemuda yang akan meminang dan gadis yang berasal dari keluarga pihak laki-laki. Keluarga pihak laki-laki dan perempuan saling berbicara mengenai maksud dan tujuan dari kedatangan pihak keluarga calon mempelai laki-laki. Setelah pembicaraan selesai, base suhunan diterima oleh pihak keluarga perempuan dan dijadikan sebagai porosan. Porosan ini kemudian diberikan kepada pihak laki-laki sebagai tanda bahwa lamaran dari keluarga pihak laki-laki sudah diterima. sejak diterimanya porosan tersebut maka gadis yang dilamar sudah sah menjadi tunangan (gelan) truna (pemuda) tersebut. Apabila jarak antara pertunangan sampai dengan acara perkawinan jauh maka setiap bulan pihak laki-laki harus membawakan base suluhan kembali menjelang bulan purnama ke keluarga calon mempelai wanita sampai terlaksananya upacara perkawinan.

Setelah hari dan tanggal ditentukan untuk melaksanakan upacara perkawinan, maka keluarga calon mempelai laki-laki datang ke rumah untuk menjemput calon mempelai wanita. Sebelum pergi, kedua calon mempelai mepamit dan bersimbuh di hadapan orang tua calon mempelai perempuan, keluarga calon mempelai perempuan juga ikut mengantar kedua calon mempelai kerumah keluarga pihak laki-laki. Kedua mempelai harus melalui jelanan diwang atau pintu masuk, menuju rumah manten (kamar tidur pengantin), dirumah ini kedua mempelai akan disuguhkan nasi nganten. Kedua calon mempelai tidak diperbolehkan untuk keluar kamar. Keluarga dari calon mempelai laki-laki membuat pejati atau nyalanang pejati ke rumah calon mempelai wanita, balai agung, kelian pauman, kelian dinas dan kepada kepala desa (perbekel) yang mengirimkan mepejati adalah orang yang sudah menikah dan telah memiliki anak. Kedua calon mempelai tidak diperkenankan untuk keluar rumah calon mempelai laki-laki sampai hari baik untuk melangsungkan upacara perkawinan (mebea) tiba.

Dalam sistem adat perkawinan Endogami di desa Tenganan Pengringsingan terdapat banyak simbol-simbol yang dipergunakan dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Berikut ini pembahasan tentang proses pemaknaan simbol-simbol dalam pelaksanaan sistem perkawinan endogami di Desa Tenganan Pengringsingan. Premis pertama teori interaksionisme simbolik karya Blumer dalam Ritzer (2011: 392) adalah manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka, dalam hal ini masyarakat desa Tenganan Pengringsingan melaksanakan sistem perkawinan Endogami sebagai warisan nenek moyang mereka yang sudah turun-temurun dilaksanakan. Masyarakat Tenganan percaya apabila mereka melanggar tradisi tersebut makan bencana akan melanda desa mereka. Disamping itu, mereka merupakan salah satu dari masyarakat Bali Age (warga asli Bali) akan luntur jika melaksanakan perkawinan dengan orang di luar desa mereka. Sedangkan premis kedua Blumer dalam Ritzer (2011: 392) mengatakan bahwa makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia satu dengan manusia lainnya. Orang-orang dalam desa Tenganan Pengrisngsingan saling berinteraksi satu dengan lainnya sehingga memaknai simbol-simbol yang ada didalam interaksi tersebut sehingga sampai sekarang. Pada pemuda dan pemudi yang melaksanakan beberapa ritual wajib akan diberikan pengarahan dari pada tetua-tetua adat desa yang berisikan tentang makna-makna yang ada pada setiap kehidupan masyarakat desa Tenganan.

III. Bentuk Sanksi Bagi Pelanggar Tradisi Perkawinan Endogami

1.      Sanksi Denda

Masyarakat Tenganan Pegringsingan sampai saat ini masih menganggap bahwa perkawinan endogami merupakan perkawinan yang idial dan terhormat. Sebaliknya, perkawinan eksogami merupakan perkawinan yang tidak baik dan dilarang. Pelanggaran atas larangan perkawinan tersebut mengakibatkan mempelai dan orang tuanya sama-sama dikenai sanksi adat.

Bagi umat Hindu di Bali, istilah “sanksi adat” lebih populer dengan sebutan “pamidanda”. Windia menyatakan ada tiga jenis pamidanda, yaitu arta denda, sangaskara danda, dan jiwa danda. Artadanda adalah denda dalam wujud materi berupa berbagai benda yang mempunyai nilai ekonomi atau berupa uang. Uang yang dimaksud berupa uang kertas atau uang kepeng.Akan tetapi, pembayaran denda sama sekali belum pernah dilakukan dengan menggunakan cek atau kartu kredit. Dalam danda arta juga dilakukan dengan ayahan panukun kasisipan, yaitu kewajiban untuk melakukan perbuatan tertentu (ngayah) selama waktu tertentu sebagai pengganti atas kewajiban membayar danda materi atau uang. Sangaskara danda adalah sanksi denda berupa melaksanakan upacara tertentu. Denda ini dikenakan kepada warga yang melakukan perbuatan tertentu yang dianggap menimbulkan leteh (suatu keadaan yang dianggap suci) seperti pencurian, pembunuhan, dan berbagai tindakan pidana yang lainnya. Perbuatannya tersebut tidak hanya dianggap merugikan secara material tetapi juga menimbulkan ketidakseimbangan batin. Pelaksanaan sangaskara danda berupa upacara prayascita atau upacara pecaruan. Danda sangaskara biasanya juga dibebankan terhadap perbuatan yang dianggap dapat menimbulkan perasaan tidak menyenangkan, seperti mengeluarkan kata-kata kotor, mencaci maki, dan sebagainya. Jiwa danda atau atma danda adalah sanksi yang berkaitan dengan jiwa pelaku yang melakukan pelanggaran. Pada zaman dahulu hukuman ini dilakukan dengan tikaman sebilah keris atau menenggelamkan ke laut bagi yang melanggar. Akan tetapi dewasa ini jiwa danda dapat berupa pengaksama (menyampaikan permintaan maaf) di hadapan paruman (rapat) desa. Sanksi denda yang harus dibayar oleh orang tua mempelai sebanyak 75.000 uang kepeng asli. Dewasa ini di Bali uang kepeng asli per keteng (biji) harganya Rp 3 000. Dengan demikian, denda arta yang mesti dibayar oleh orang tua mempelai Rp 225.000.000.

Seiring dengan perkembangan zaman, Timur sebagai mantan Kliang Desa Tenganan Pegringsingan menyatakan bahwa sanksi denda arta atas pelanggaran larangan perkawinan eksogami sudah mengalami perubahan. Artinya, warga yang melanggar larangan perkawinan eksogami tidak lagi membayar Rp 225.000.000 tetapi Rp.18.000.000. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kemanusiaan, yaitu meringankan beban keluarga mempelai. Di samping itu memepali juga sudah kehilangan semua hak di desanya. Orang tua memepelai juga tiap bulan wajib membayar uang Rp1000, kepada desa adat sebagai tanda kesalahan pelanggaran atas larangan perkawinan eksogami.

2.      Sanksi Moral

Setiap gangguan atau benturan terhadap keseimbangan kehidupan orang   perorangan atau orang-orang banyak sebagai satu kesatuan dalam ketertiban hukum dianggap sebagai suatu pelanggaran adat. Delik adat adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat bersangkutan, baik sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekolompok orang maupun pengurus adat sendiri. Perbuatan yang melanggar adat dipadang dapat menimbulkan keguncangan sehingga tergganggu kesehimbangan kosmos. Keguncangan dapat menimbulkan reaksi masyarakat berupa sanksi adat. Sebagaimana dikutip oleh Soeroyo Wignjodipoero menjelaskan bahwa sanksi adat sangat diperlukan untuk mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu. Di samping itu juga meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat. Di pihak lain Sianturi menyatakan bahwa sanksi adat memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1.      sebagai alat pemaksa agar seseorang atau warga mennaati norma-norma yang berlaku,

2.      sebagai norma hukum untuk ditaati, dan

3.      sebagai akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum.

 Senada dengan pendapat Sianturi, Çantika mengemukakan bahwa sanksi adat dapat digunakan untuk memulihkan kepada keadaan trepti (tertib), dan sukerta (tenteram) yakni adanya keseimbangan dari sattyam (kebenaran), siwam (kesusilaan), dan sundaram (kebahagiaan) yang terjawantah ke dalam filosofis tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan)

Sanksi adat yang dijatuhkan atas pelanggaran larangan perkawinan eksogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan tidak hanya berupa sanksi denda, tetapi juga sanksi moral. Sanksi moral adalah sanksi batin berupa rasa malu atau rasa bersalah (berdosa). Beberapa pakar mengemukakan bahwa sanksi moral di Bali bebannya jauh lebih besar dibandingkan dengan hukuman badan, kesalahan- kesalahan ringan mengakibatkan denda, dan penyitaan harta benda, atau penundaan sementara dari masyarakat. Akan tetapi, hukuman bagi kesalahan-kesalahan besar bervariasi antara boikot yang menakutkan dari semua kegiatan desa sampai pengucilan tetap, pengusiran sepenuhnya dari desa. Seseorang yang disingkirkan dari desanya tidak diijinkan masuk ke kemunitas lain. Dia benar-benar menjadi terbuang sebagai sebuah hukuman yang jauh lebih berat dari kematian fisik bagi pikiran orang Bali karena seseorang secara terbuka dipermalukan, membunuh dirinya sendiri.

Sanksi kanoroyang merupakan sanksi moral yang paling berat pada perkawinan eksogami di Desa Tenganan Pegringsingan. Warga yang dikenai sanksi adat kasepekang saja sudah diangap berat apalagi sanksi kanoroyang. Krama adat yang dijatuhi sanksi kasepekang, statusnya masih tetap diakui sebagai krama adat, tetapi ia ditempatkan di luar tata hukum. Maksudnya, krama yang bersangkutan tidak dikenai aturan hukum adat, seperti tidak mendapatkan pemberitahuan (tan polih arah-arahan), tidak mendapat layanan kentongan (tan polih pasuwaran kulkul), dan tidak mendapat bantuan banjar. Ia juga masih dapat menggunakan kuburan, tetapi tidak mendapatkan bantuan layanan banjar   atau desa pakraman. Sebaliknya, dalam sanksi adat kanoroyang, status yang bersangkutan sudah tidak lagi sebagai warga desa pakraman karena tidak hanya dikucilkan, tetapi juga diusir dari desanya. Wayan Koti Cantika membedakan antara sanksi adat kasepekang dan kanoroyang. Dalam sanksi adat kasepekang, seseorang yang dikenai sanksi masih diakui keberadaannya sebagai krama, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar/ desa pakraman. Sebaliknya, dalam sanksi adat kanoroyang, seseorang tidak saja dikucilkan, tetapi juga dianggap tidak ada.

Akibat pelangaran atas larangan perkawinan eksogami di Tenganan Pegringsingan tidak hanya dirasakan oleh mempelai, tetapi juga orang tuanya. Orang tua mempelai harus membayar sejumlah uang, sedangkan sanksi untuk anaknya yang melakukan perkawinan eksogami tidak hanya diusir, tetapi juga kehilngan semua hak-haknya di desa adat tersebut. Sanksi adat ini diputuskan melalui sangkepan (rapat) desa adat yang dihadiri oleh seluruh krama desa adat. Penjatuhan sanksi juga diputuskan secara terbuka dalam forum sangkepan desa adat. Sistem pengambilan keputusan tersebut menimbulkan rasa   malu dan rasa berdosa dari pihak keluarga mempelai karena anaknya berperilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan yang berlaku di masyarakatnya terutama berkaitan dengan perkawinan eksogami. Penjatuhan sanksi adat menyebabkan, mempelai sama sekali tidak memiliki hak termasuk hak untuk tinggal di desa adatnya.

IV. Kesimpulan

Masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan masih kental dengan tradisi perkawinan endogami antar sesama warga adatnya sendiri. Perkawinan ini dianggap sebagai model perkawinan yang ideal dan terhormat. Sebaliknya, perkawinan eksogami dilarang dan dikenai sanksi adat. Sanksi tidak hanya dijatuhkan kepada kedua mempelai, tetapi juga kepada orang tuanya.

Alasan-alasan sanksi adat pada perkawinan eksogami, yaitu melestarikan tradisi, menjaga sistem kekerabatan, dan menjaga keseimbangan. Dalam konteks melestarikan tradisi,   sanksi adat digunakan untuk menjaga dan memelihara serta melestarikan perkawinan endogami sebagai model perkawinan yang paling ideal dan terhormat. Dengan melestarikan tradisi, keaslian unsur-unsur kebudayaan, khususnya perkawinan endogami sesama warga adat tidak punah. Dalam konteks kekrabatan, sanksi adat digunakan untuk menjaga dan mempertahankan kemurnian sistem kekerabatan bilateral di desa adat. Dengan kekerabatan ini, kedua mempelai sama-sama setara kedudukannya di mata hukum. Artinya, kedua memepelai mempunyai hak yang sama sebagai ahli waris. Dalam konteks keseimbangan, sanksi adat dalam perkawinan eksogami digunakan untuk menjaga keseimbangan tri hita karana, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan. Perkawinan eksogami dianggap telah membawa keletehan sehingga keseimbangan Desa Adat Tenganan Pegringsingan terganggu.

Bentuk sanksi adat pada perkawinan eksogami ada dua macam, yaitu sanksi denda dan sanksi moral. Terkait dengan   sanksi denda, orang tua mempelai harus membayar uang juga harus membayar uang tiap bulan Rp1000 selama hidupnya. Dalam konteks sanksi moral, kedua mempelai dan orang tuanya terbebani secara batin karena perkawinan yang dilakukan merupakan perkawinan yang terlarang. Pelanggaran atas larangan perkawinan tersebut menyebabkan keletehan di desa adat. Mempelai dan orang tuanya harus menanggung rasa malu selama hidupnya karena telah menyebabkan kecemaran desa adat.

Sanksi adat pada perkawinan eksogami menunjukkan ketidakemansipasian, tidak memperoleh kesejahteraan dari desa adatnya, dan kehilangan semua hak-haknya di desanya. Dalam konteks ketidakemansipasian, warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan tidak diperbolehkan melakukan perkawinan dengan warga diluar desa adatnya. Pelanggaran atas larangan perkawinan eksogami dikenai sanksi adat. Dalam konteks tidak memperoleh kesejahteraan dari desa adat, warga yang melakukan perkawinan eksogami tidak berhak menerima kesejahteraan dari desa adat. Dengan perkawinan eksogami,   semua hak mempelai dicabut termasuk hak untuk memperoleh pembagian hasil dari desa adat. Dengan pencabutan ini praktis mempelai tidak mendapatkan kesejahteraan. Dalam konteks kehilangan semua hak di desanya, yaitu warganya yang melanggar laragan perkawinan eksogami menyebabkan semua hak dicabut sehingga mempelai sama sekali tidak memiliki hak di desanya atau tidak dianggap warga lagi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Budiana, I Nyoman. 2012. Konstruksi Kawin Nyeburin Antar Wangsa. Denpasar: Undiknas.

 

                                  . 2018. Perkawinan Beda Wangsa Dalam Masyarakat Bali. Yogyakarta: Histokultural.

Goode, J William. 2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

LEMBAGA PERKREDITAN DESA

ESSAY EKONOMI KREATIF

OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU NO 23 TAHUN 2021