STUDI KASUS HK. PERDATA INTERNASIONAL

 

STUDI KASUS HK. PERDATA INTERNASIONAL

 

POKOK BAHASAN: HAK KEWARGANEGARAAN INTERNASIONAL

PERMASALAHAN

Pengakuan mengenai adanya kewarganegaraan ganda dalam UU Kewarganegaraan Baru, bertujuan menghapus diskriminasi dan menjamin hak asasi manusia terutama terhadap wanita dan anak-anak. Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas yaitu, hukum dari negara mana yang berlaku atas status personal dari anak yang berkewarganegaraan ganda tersebut, serta bagaimanakah realisasi hak waris anak yang berkewarganegaraan ganda dari ayah atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia.

PEMBAHASAN

Hubungan antara Kewarganegaraan Seseorang dengan Status Personal

Status personal berasal dari madzab Italia yang membagi kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional dalam 3 kelompok yaitu: statuta personalia, statuta realia dan statuta mixta. Statuta personalia adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengikuti seseorang kemanapun ia pergi; statuta realia adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengatur tentang benda tetap; sedangkan statuta mixta (campuran), adalah kelompok kaidah-kaidah yang mengatur tentang bentuk dari suatu perbuatan hukum (Saragih Djasadin, 1974:33-35).

Sistem Hukum Perdata Internasional yang berlaku di Indonesia sampai sekarang merupakan sebuah warisan dari sistem Hukum Perdata Internasional yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi, dimana pengaturan mengenai status personal terdapat dalam Pasal 16 Algemene Bepalingen Van Wetgeving (selanjutnya disebut AB) yang berasal dari Pasal 6 AB Belanda yang menyalin lagi dari Pasal 3 ayat 3 Code Civil Perancis (Sudargo Gautama 1, 1981:2). Pasal 16 AB menyatakan Ketentuan-ketentuan perundang- undangan mengenai status dan wewenang orang-orang tetap mengikat Warga Negara Indonesia jikalau mereka berada di luar negeri.

Berdasarkan pasal 16 AB tersebut, Indonesia menganut prinsip nasionalitas atau kewarganegaraan dalam menentukan status personal seseorang. Hal ini berarti bagi WNI yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetap berlaku hukum nasional Indonesia. Sebaliknya menurut yurisprudensi, bagi orang-orang asing yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut termasuk dalam lingkup status personal antara lain mengenai perkawinan dan perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian, kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak di bawah umur dan lain-lain. Karena Pasal 16 AB merupakan kaidah penunjuk sepihak (eenzijdige verwijzingregels) sehingga dalam praktek ditafsirkan secara timbal balik (tweezidige). Berbeda dengan negara-negara Common Law dimana status personal seseorang dinilai menurut hukum domisilinya.

 

Status Kewarganegaraan Anak dalam Perkawinan Campuran: Kewarganegaraan Anak menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Lama

Dalam UU Kewarganegaraan Lama dianut asas kewarganegaraan tunggal. Dimana kewarganegaraan anak yang lahir hasil perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan ayahnya sesuai Pasal 13 ayat 1 yang menyatakan:

”Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bermukim dan berada di Indonesia. Keterangan mengenai bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak berlaku terhadap anak-anak yang ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarganegaraan.”

Berdasarkan ketentuan UU Kewarganegaraan Lama, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi WNI dan bisa menjadi WNA. Bila seorang anak lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA dengan pria WNI, sesuai Pasal 1 huruf b UU Kewarganegaraan Lama, kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, yaitu anak menjadi WNI, bila ibu dapat memberikan kewarganegaraannya kepada si anak maka anak tersebut kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Sebaliknya bila anak yang lahir dalam perkawinan antara wanita WNI dan pria WNA, maka anak menjadi WNA mengikuti ayahnya.

Bilamana anak tersebut lahir  serta  bermukim di Indonesia, maka terhadap anak tersebut harus dibuatkan paspor di Kedutaan Besar ayahnya serta harus mendapat Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang serta memerlukan biaya yang mahal. Bila terjadi perceraian antara ayah dan ibunya dan anak tetap di bawah pengasuhan ibunya yang WNI, maka sewaktu-waktu anak dapat di deportasi. Bila si ibu tidak sanggup membayar biaya perpanjangan KITAS bagi anaknya dan bila terjadi overstay lebih dari 2 bulan si ibu dapat dipenjara kurungan karena memberi makan dan melindungi orang asing sesuai Pasal 52 Undang-Undang Imigrasi No. 9 Tahun 1992 seperti yang terjadi di Jawa Timur dalam kasus Andreya Miyakoshi.

Dalam kasus ini, perempuan WNI yang bernama Atik menikah dengan pria warga negara Jepang. Dalam perkawinan tersebut lahirlah seorang anak perempuan bernama Anreya Miyakoshi. Berdasarkan UU Kewarganegaraan Lama, Andreya Miyakoshi memperoleh kewarganegaraan ayahnya yaitu Jepang. Pasangan ini kemudian bercerai dan pemeliharaan Andreya Miyakoshi diserahkan kepada ibunya. Akan tetapi karena terjadi overstay selama tujuh bulan maka si anak yang baru berusia 4 tahun harus di deportasi. Pada waktu itu jalan keluar yang disarankan oleh Kantor Imigrasi yaitu si ibu harus membawa anaknya ke luar negeri, ke negara mana saja, entah beberapa hari, setelah kembali baru surat-suratnya diperbaharui dan dianggap sebagai pendatang baru. Namun masalah yang dihadapi Ibu Atik yaitu sang ibu tidak mempunyai cukup uang untuk membawa anaknya ke luar negeri (Zulfa Djoko Basuki, 2005:129).

Dalam prakteknya, UU Kewarganegaraan Lama banyak menimbulkan kerugian bagi wanita WNI yang menikah dengan pria WNA, yang mana menurut hasil survey online yang dilakukan oleh Indo-MC (Indonesia Mixedcouple Club) dalam Tahun 2002 dari 574 responden yang terjaring 95,19% adalah perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA (Nuning Hallet, www.snb.or.id:1).

Kegetiran yang dialami oleh perempuan WNI dimulai ketika anak yang lahir dari rahimnya oleh negara diklaim sebagai WNA, ini berarti sang bayi diperlakukan sama dengan turis atau pebisnis asing. Ia harus melengkapi dirinya dengan paspor asing dan dokumen keimigrasian jika berada di wilayah Republik Indonesia, yang mana merupakan kampung halaman ibunya. Lahirnya anak dengan status asing inilah yang menjadi momentum dari segala kerumitan yang dihadapi sang ibu WNI selama hidupnya.

Kasus lain yang juga menimpa wanita WNI yang menikah dengan pria WNA, yaitu Eva Van Der Kruit yang tinggal di Belanda dan hendak mencoba keluar dari perkawinan yang menurutnya tidak sehat. Dia pulang ke Indonesia dengan membawa ketiga anak kandungnya, sayang kemarahan sang suami tidak terbendung dan melaporkan istrinya sebagai penculik warga negara Belanda dan dilaporkan ke Interpol.

Kasus lain dialami oleh Marcellina Tanuhandaru WNI yang menikah dengan seorang pria warga negara Amerika di Kantor Catatan Sipil Colombus, Ohio, dari perkawinannya lahir 2 orang anak, keduanya lahir di Amerika, kedua anaknya warga negara Amerika. Namun karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh Marcellina Tanuhandaru, maka ia bersama anak-anaknya pergi meninggalkan suami dan rumah di Colombus dan selama 2 bulan bersembunyi dalam shelter perlindungan di Colombus sesuai saran Konjen setempat, kemudian melanjutkan ke Washington untuk mengurus surat-surat di KBRI. Selama sebulan di KBRI mereka berpindah-pindah tempat tinggal sampai 5 kali supaya tidak bisa dilacak oleh suaminya. Setelah memperoleh kemudahan berupa Surat Perjalanan Laksana Paspor dari KBRI di Washington, akhirnya Marcellina beserta anak- anaknya dapat meninggalkan Amerika dan pulang ke Indonesia. Di Indonesia masalah yang dihadapi Marcellina sebagai WNI yaitu ia harus mengurus izin tinggal dan membuat paspor Amerika bagi anak- anaknya yang WNA, namun Marcellina bisa dituduh sebagai penculik anak Amerika bila ia mengurus paspor anaknya ke Kedutaan Amerika (Newsletter Perempuan, www.icrp-online.org).

Masih banyak kasus-kasus yang merugikan wanita WNI serta anak-anaknya dalam suatu perkawinan campuran, namun kasus-kasus tersebut di atas sudah cukup menggambarkan bahwa UU Kewarganegaraan Lama tidak akomodatif terhadap perempuan WNI dan anak-anaknya dalam perkawinan campuran.

 

Status Kewarganegaraan Anak Berdasarkan UU Kewarganegaraan Baru

Tertanggal 1 Agustus Tahun 2006 diundangkan UU Kewarganegaraan Baru yang mana menggantikan UU Kewarganegaraan Lama. Kehadiran akan UU Kewarganegaraan Baru itu disambut penuh antusias oleh para pelaku perkawinan campuran, karena anak- anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran tetap diakui sebagai WNI di samping kewarganegaraan asingnya yang mengikuti ayahnya atau dengan kata lain anak-anak hasil perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan ganda.

Dalam Pasal 4 huruf c UU Kewarganegaraan Baru menyatakan:

”Warga Negara Indonesia adalah: anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan Ibu Warga Negara Asing”

Selanjutnya, Pasal 4 huruf d menyatakan:

”Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia”

Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat 1 menyatakan:

”Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”.

Dari Pasal 6 ayat 1 UU Kewarganegaraan Baru tersebut di atas maka kewarganegaraan ganda anak dalam suatu perkawinan campuran bersifat terbatas sampai pada usia 18 tahun saja, kemudian dia diberi waktu 3 tahun untuk memilih apakah akan menjadi WNI atau WNA. Terhadap anak-anak yang lahir sebelum Undang- Undang ini diundangkan, mereka dapat memperoleh kewarganegaraan ganda atau dapat menjadi WNA. Mereka dapat memperoleh kewarganegaraan ganda, bila orangtua atau walinya mendaftarkan mereka kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Dengan didaftarkannya anak-anak tersebut, maka mereka memperoleh Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM bahwa mereka adalah WNI. Bila sampai dengan Tahun 2010 anak-anak tersebut tidak didaftarkan maka mereka dianggap sebagai WNA (wawancara dengan Bapak Nengak Mahardika, Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, Kanwil Hukum dan HAM Propinsi Jatim, periksa Pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006 jo. Permen Hukum dan HAM No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Anak untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI). Sedangkan anak- anak yang lahir di Indonesia setelah Undang-Undang ini diundangkan, pencatatan dilakukan pada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil dan memperoleh akte kelahiran sebagai WNI.

Masalah kewarganegaraan seseorang tidak hanya terbatas pada paspor serta izin tinggal di suatu negara tetapi mempunyai implikasi yang lebih jauh yaitu juga meliputi hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara yang harus dijalaninya. Dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 16 AB bahwa kewarganegaraan seseorang menentukan hukum yang berlaku baginya di bidang status personal yaitu meliputi hubungan-hubungan kekeluargaan seperti hubungan antara suami istri, ayah dan anak, perwalian termasuk soal-soal yang bertalian dengan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, status di bawah umur dan lain-lain.

Bila seseorang berkewarganegaraan asing, maka terhadap status personalnya berlaku hukum asing yaitu hukum nasional dari negaranya. Bila anak tersebut berkewarganegaraan ganda, maka anak tersebut tunduk pada dua yurisdiksi dari dua negara yang berbeda, sehingga asas kewarganegaraan yang dianut dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia melalui Pasal 16 AB sulit diterapkan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan status personalnya.

 

Hak-hak Perdata Anak Berkewarganegaraan Ganda dalam Hal Status Personal Anak sebagai Subjek Hukum

UU Kewarganegaraan Baru tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan anak, namun Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa anak yang berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus memilih salah satu dari kewarganegaraannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 1 tersebut di atas, batasan usia seorang anak adalah 18 tahun, bila sebelum 18 tahun anak tersebut telah menikah misalnya pada usia 14 tahun maka ia dianggap telah dewasa.

Dalam Pasal 47 ayat 1 UUP, juga ditegaskan batasan usia seorang anak adalah 18 tahun. Pasal tersebut menyatakan ”Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya, selama mereka tidak atau belum dicabut dari kekuasaannya”

Sejalan dengan adanya ketentuan usia 18 tahun bagi seorang anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lebih jelas memberikan definisi tentang anak yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:

”Anak adalah seseorang yang belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, kesimpulan yang dapat ditarik bahwa batas usia seseorang yang dianggap sebagai anak di Indonesia adalah 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

Dalam Hukum Perdata, manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan, kecuali apa yang diatur dalam Pasal 2 BW bahwa anak yang masih berada dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum bila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, namun untuk anak sebagai pendukung hak dan kewajiban, selama anak tersebut belum dewasa atau belum kawin, pada umumnya anak hanya mempunyai hak dan belum mempunyai kewajiban, sehingga mereka lebih banyak mendapat keuntungan akibat kewarganegaraan ganda. Oleh sebab itu bila mereka telah dewasa atau sudah kawin mereka harus memilih salah satu di antara kewarganegaraan ganda tersebut. Bila mereka tidak memilih salah satu dari kedua kewarganegaraannya maka mereka dianggap sebagai orang asing.

 

Hak Anak dalam Bidang Hukum Perkawinan

Berdasarkan data yang diperoleh pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya, dalam tahun 2009 sampai pada bulan Oktober terdapat 34 pasangan perkawinan campuran yang melangsungkan perkawinan campuran disana. Dari 34 pasangan tersebut, 29 pasangan diantaranya adalah perempuan WNI yang menikah dengan Pria WNA, sedangkan hanya 5 pasangan antara perempuan WNA yang menikah dengan pria WNI. Hal itu berarti sebanyak 85% pelaku perkawinan campuran adalah perempuan WNI.

 

Hak Anak Berkewarganegaraan Ganda sebagai Ahli Waris

Menurut teori Hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dalam hubungan antara anak dan orangtua, perlu dilihat terlebih dahulu perkawinan orangtuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orangtuanya sah, sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, bila perkawinan orangtuanya tidak sah, maka anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.

Dalam hukum waris yang berlaku di Indonesia, anak adalah ahli waris, dengan catatan dalam hukum waris Islam anak yang dimaksud harus ada hubungan darah dengan orangtuanya.

Berdasarkan UU Kewarganegaraan Lama, anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran, bila ayahnya WNA dan ibunya WNI maka status anak menjadi WNA mengikuti ayahnya sesuai Pasal 13. Setelah berlakunya UU Kewarganegaraan Baru, anak memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas.

Sebelum UU Kewarganegaraan Baru disahkan, yaitu pada saat rancangan undang-undang tersebut dibahas pada tingkat Dewan Perwakilan Rakyat, banyak masukan yang diperoleh dari para pelaku perkawinan campuran mengenai kegetiran-kegetiran yang telah mereka alami pada waktu berlakunya UU Kewarganegaraan Lama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Zulfa Djoko, 2005, Dampak Perkawinan Campuran terhadap Pemeliharaan Anak Ditinjau dari Segi Hukum Perdata Internasional, Jakarta: Yarsif Watampone.

Gautama, Sudargo, 1964, Hukum Perdata Internasio- nal Indonesia, Jilid 2 Bag. 3, Jakarta: Kinta.

 

Comments

Popular posts from this blog

LEMBAGA PERKREDITAN DESA

ESSAY EKONOMI KREATIF

OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF UU NO 23 TAHUN 2021