MAKALAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN ABITRASE
“MEDIASI
PENAL DALAM TINDAK PIDANA RINGAN SEBAGAI WUJUD DARI RETORATIVE JUSTICE”
NAMA : I
PUTU EKA YOGA PRAMESTI
NIM :
0195010055
KELAS : 5C
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA
T.A 2021/2022
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perdamaian
merupakan cara terbaik dalam menyelesaikan persengketaan di antara pihak
berperkara. Dengan perdamaian, maka pihak-pihak berperkara dapat menjajaki
suatu resolusi yang saling menguntungkan satu sama lain. Ini dikarenakan, dalam
perdamaian, yang ditekankan bukanlah aspek hukum semata, namun bagaimana kedua
belah pihak tetap dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari
pilihan-pilihan yang mereka sepakati. Dengan perdamaian, penyelesaian justru
lebih mengedepankan sisi humanitas dan keinginan untuk saling membantu dan
berbagi. Tidak ada pihak yang kalah maupun menang, yang ada hanyalah pihak yang
menang secara bersama-sama. Merujuk pada ketentuan
hukum acara perdata Pasal 154 Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar jawa dan
Madura (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtwezen In De Gewesten Buiten Java
En Madura, Staatsblaad 1927:227) dan Pasal 130 Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (Het Herziene Inlandsch Reglement, Staatsblaad 1941:
44) mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat
didayagunakan melalui mediasi dengan mengintegrasikannya ke dalam prosedur
berperkara di Pengadilan
Mediasi
sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar
pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan
hidup, perburuhan, pertanahan, perumahan, dan sebagainya yang merupakan
perwujudan tuntutan masyarakat atas penyelesaian sengketa yang cepat, efektif,
dan efisien.[1]
Mediasi berasal dari latin, mediere, yang berarti berada ditengah.
Mediasi yang dipakai sekarang ini diserap dari Bahasa Inggris, mediation. Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mediasi diberi makna sebagai
proses pengikutsertaaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasihat.[2]
Orang yang melakukan mediasi dinamakan mediator.
Menurut
Christper W. Moore mediasi adalah suatu masalah yang dapat dibantu
[penyelesaian masalahnya] oleh pihak ketiga yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak, adil dan tidak memihak serta tidak mempunyai wewenang untuk membuat
keputusan, tetapi mempercepat para pihak yang bersengketa agar dapat mencapai
suatu keputusan bersama dari masalah yang disengketakan.[3]
Sedangkan menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016, mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu mediator.[4]
Dalam
membantu pihak yang bersengketa, mediator bersifat imparsial atau tidak
memihak. Kedudukan mediator seperti ini sangat penting, karena akan menumbuhkan
kepercayaan yang penting, karena akan menumbuhkan kepercayaan yang memudahkan
mediator dalam melakukan kegiatan mediasi.
Dalam
bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia yang berlandaskan pada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan
pidana itu diawali di kepolisian, kejaksaan, dan hakim pada saat peradilan.
Dalam proses sistem peradilan pidana, membutuhkan waktu yang agak lama dan
panjang bahkan terkadang berbelit-belit, sehingga dibutuhkan sebuah terobosan
hukum yakni dengan mengunakan mediasi penal. Mediasi penal merupakan salah satu
bentuk dari pelaksanaan restorative justice. Mediasi penal merupakan sebuah
langkah terobosan hukum dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Mediasi penal
erat hubungan dengan restorative justice
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa Pengertian dari Mediasi dan bagaimana
perannya dalam penyelesaian sengketa dalan tindak pidana ringan?
1.2.2
Bagaimana Cara kerja dari mediasi
tersebut dan kaitannya dengan restorative justice?
1.2.3 Apakah Relevan penerapan mediasi dalam
perkara tipiring?
1.3 Metode
Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode studi kepustakaan,
yaitu dengan mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan pustaka baik
bersumber buku dan jurnal yang diakses secara online.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Mediasi dan Penerapannya
Mediasi
berasal dari latin, mediere, yang
berarti berada ditengah. Mediasi yang dipakai sekarang ini diserap dari Bahasa
Inggris, mediation. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mediasi
diberi makna sebagai proses pengikutsertaaan pihak ketiga dalam penyelesaian
suatu perselisihan sebagai penasihat.[5]
Orang yang melakukan mediasi dinamakan mediator.
Menurut
Christper W. Moore mediasi adalah suatu masalah yang dapat dibantu
[penyelesaian masalahnya] oleh pihak ketiga yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak, adil dan tidak memihak serta tidak mempunyai wewenang untuk
membuat keputusan, tetapi mempercepat para pihak yang bersengketa agar dapat
mencapai suatu keputusan bersama dari masalah yang disengketakan.[6]
Sedangkan menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016, mediasi adalah cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak
dengan dibantu mediator.[7]
Dalam membantu pihak yang bersengketa, mediator bersifat imparsial atau tidak
memihak. Kedudukan mediator seperti ini sangat penting, karena akan menumbuhkan
kepercayaan yang penting, karena akan menumbuhkan kepercayaan yang memudahkan
mediator dalam melakukan kegiatan mediasi.
Pada umumnya ketentuan pidana masuk
dalam ranah hukum publik artinya negara mempunyai peranan yang sangat vital
untuk menegakkannya. Hal ini tentu berbeda dengan hukum perdata, yang titik
tekannya pada persoalan individu. Pada pokoknya, hukum itu mengatur segala
tingkah laku masyarakat untuk hidup bermasyarakat di dalam suatu negara. [8] Lembaga Kepolisian sebagai ujung tombak dalam
penegakan hukum pidana mempunyai tugas dan kewenangan apakah suatu perbuatan
itu perlu dihentikan prosesnya atau perlu ditindaklanjuti dalam proses
peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu. Payung hukum yang digunakan
adalah Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, yang berbunyi “untuk kepentingan umum dan
masyarakat, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
fungsi, tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri”. Sedangkan di ayat (2)-nya, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Kata diskresi atau discretion
(Inggris) atau pouvir discretionnaire (Perancis) atau freis ermessen (Jerman)
memiliki banyak definisi. Benyamin mengartikan diskresi
sebagai kebebasan pejabat pengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri.
Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.
Sejalan dengan itu, Rycko Amelza Dahniel mengemukakan bahwa diskresi merupakan
kewenangan polisi dalam melaksanakan pemolisian, yakni sebagai tindakan yang
diambil untuk tidak melakukan tindakan hukum dengan tujuan untuk kepentingan
umum, kemanusiaan, memberikan pencerahan atau pendidikan kepada masyarakat, dan
tindakan diskresi bisa dilakukan oleh setiap anggota kepolisian yang bertugas
atau menangani suatu kasus atau permasalahan dalam lingkup tugas dan
kewenangannya. Beberapa contoh kasus yang terjadi di
Indonesia yang salah satunya menimpa ibu Miniasih, 2 orang anaknya serta
keponakannya yang mencuri 2 Kg buah Randu (kapuk), yang apabila dinominalkan,
buah randu yang dipungut itu tidak lebih dari 10 ribu rupiah. Akibat dari
perbuatannya itu, ibu Miniasih sempat mendekam di Rutan Rowobelang sebagai
tahanan Polres Batang sehingga hal ini sempat menjadi polemic dimasyarakat
karena viral di berbagai sosmed dan dikecam oleh masyarakat bahwa tidak ada nya
keadilan dalam penerapan hukum di Indonesia.
Dalam
bekerjanya sistem peradilan pidana Indonesia yang berlandaskan pada Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem peradilan
pidana itu diawali di kepolisian, kejaksaan, dan hakim pada saat peradilan.
Dalam proses sistem peradilan pidana, membutuhkan waktu yang agak lama dan
panjang bahkan terkadang berbelit-belit, sehingga dibutuhkan sebuah terobosan
hukum yakni dengan mengunakan mediasi penal. Mediasi penal merupakan salah satu
bentuk dari pelaksanaan restorative justice. Mediasi penal merupakan sebuah
langkah terobosan hukum dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Mediasi penal
erat hubungan dengan restorative justice. Penggunaan mediasi penal sebagai
alternatif peradilan pidana khususnya dalam tindak pidana pencurian ringan
tidak terbilang baru dan bukan suatu keharusan untuk dilaksanakan, itupun
tergantung pada sikap aparat penegak hukum. Namun seiring perkembangan zaman
dan kebutuhan korban, mediasi penal yang merupakan sebuah terobosan hukum
mempunyai manfaat yang banyak bagi kedua belah pihak yang berperkara dan
memberikan keuntungan tersendiri kepada pelaku dan korban. Untuk penanganan
kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir sama dengan yang kita kenal diskresi
(discretion) yang dimiliki oleh lembaga sistem peradilan pidana kita, seperti
kepolisian dan kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk untuk tidak
meneruskan sebagian kasus tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun
demikian terdapat esensi yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi
penal lebih mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus
kepentingan korban, sehingga tercapai win-win solution yang menguntungkan
pelaku tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penalkorban dipertemukan
secara langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya
sehingga dihasilkan perdamaian para pihak.
Mediasi
Penal merupakan salah satu jalan alternatif untuk menyelesaikan perkara
khususnya tindak pidana pencurian ringan. Melalui mediasi penal proses
penanganan perkara dilakukan secara transparan sehingga dapat mengurangi
penyimpangan yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana tradisional.
Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal, sebagaimana telah
dipraktekkan di beberapa negara, maka diperlukan upaya berupa kajian untuk
menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai bagian
dari sistem peradilan pidana di Indonesia.
2.2
Cara kerja dari Mediasi Penal
Upaya
penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) tidak hanya
dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata, tetapi juga mulai dikenal dan
berkembang dalam kaedah hukum pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai
dikembangkan dalam hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan
istilah ‘mediasi penal’ (penal mediation).[9] Mediasi
penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif di Indonesia
sejak keluarnya Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal
yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus
pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang
berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
Menurut
KUHP, pencurian ringan (gepriviligeerde diefsal) diatur dalam Pasal 364 KUHP
yang rumusannya sebagai berikut:
“perbuatan-perbuatan
yang diterangkan dalam pasal 362 dan 363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan
yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah
tempat kediaman, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,-,
diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau
denda paling banyak Rp 900,-.”
Berdasarkan
Pasal 364 KUHP di atas, jadi ada 3 kemungkinan saja yang dapat dikatakan
sebagai pencurian ringan, yakni apabila:
a. pencurian
biasa sebagaimana diatur pasal 362, ditambah adanya unsur yang meringankan
yakni apabila benda yag dicuri tidak lebih dari Rp 250,-
b. dua
orang atau lebih melakukan pencurian dengan bersekongkol ditambah unsur nilai
objeknya tidak melebihi dari Rp 250,-
c. pencurian
itu dilakukan dengan cara masuk ke suatu tempat (tempat kejadian perkara)
dengan cara: membongkar, merusak, memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu, ditambah nilainya benda yang dicuri tidak
lebih dari Rp 250,-.
Secara
yuridis dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, sebenarnya para
penegak hukum telah diberikan wewenang tertentu oleh undang-undang untuk
mengesampingkan perkara pidana atau menyelesaian perkara pidana tanpa
meneruskannya ke pengadilan (sarana non litigasi). Seperti halnya kepolisian,
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Polri, telah memberikan kewenangan kepada polisi (penyidik) untuk melakukan
diskresi (discretion), yakni hak untuk tidak memproses hukum terhadap tindak
pidana sepanjang demi kepentingan umum maupun moral, karena diskresi pada
hakikatnya berada di antara hukum dan moral.
Dengan
adanya mediasi penal (penal mediation) dan jika dikaitkan dengan ide keadilan
restoratif (restorative justice) dan diskresi (discretion), maka dapat
dikatakan bahwa ajaran atau nilai-nilai yang mendasari mediasi penal (penal
mediation) adalah restorative justice, sedangkan roh mediasi penal (penal
mediation) untuk mewujudkan keadilan restortaif (restorative justice) ada pada
tiap-tiap institusi penegak hukum. Hal ini dapat diketahui seperti halnya jaksa
punya deponeering dan polisi punya diskresi (discretion). Dengan demikian
diskresi yang dimiliki institusi kepolisian merupakan roh atau sesuatu yang
bisa menghidupkan atausetidak-tidaknya menjadi sumber inspirasi dimana mediasi
penal dapat diterapkan pada tahap penyidikan oleh kepolisian sehingga akan
menciptakan kedamaian bagi para pihak yang berperkara serta terwujudnya rasa
keadilan yang dapat memulihkan para pihak dan masyarakat secara umum.
Restorative
justice bertujuan untuk mewujudkan pemulihan kondisi korban kejahatan, pelaku
dan masyarakat berkepentingan (stakeholder) melalui proses penyelesaian perkara
yang tidak hanya berfokus pada mengadili dan menghukum pelaku. Dalam proses
pengadilan pidana konvensional, kepentingan korban seolah-olah telah terwakili
atau direpresentasikan oleh negara cq pemerintah cq kejaksaan dan kepolisian.
Pertanyaannya, seberapa efektif dan representatif pemerintah dapat mewakili
kepentingan korban kejahatan secara utuh? Perlu cermin besar untuk dapat
melihat kepentingan korban kejahatan, karena menyangkut hak, martabat dan
kemampuan insani dari korban selaku manusia yang berdaulat. Begitu pula hak dan
kepentingan masa depannya. Apalagi kalau korban yang berstatus kepala keluarga
yang mempunyai tanggungan anggota keluarga.
2.3 Relevansi Penerapan Mediasi
dalam Tipiring
Menurut
saya, hal ini sah-sah saja apabila dari pihak korban setuju untuk melakukan
mediasi, Apabila kita cermati secara seksama, sebenarnya ide penyelesaian
perkara pencurian ringan dengan mediasi penal terletak pada korban dan didukung
oleh tersangka yang kooperatif mengakui segala perbuatannya. Namun, apabila si
korban tidak mau menyelesaikannya secara kekeluargaan melalui mediasi penal,
maka perkara akan harus dilanjutkan ke tingkat selanjutnya. Namun kembali lagi
kepada hati nurani kita sebagai mahkluk hidup, makhluk social jika tahu alasan/
motif yang jelas seperti contoh kasus ibu miniasih diatas saya rasa jika pelaku
sudah kooperatif dan kerugian yang kita dapat juga tidak seberapa besar maka
mediasi bisa dilakukan untuk menyelesaikan perkaranya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Mediasi
berasal dari latin, mediere, yang
berarti berada ditengah. Mediasi yang dipakai sekarang ini diserap dari Bahasa
Inggris, mediation. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mediasi
diberi makna sebagai proses pengikutsertaaan pihak ketiga dalam penyelesaian
suatu perselisihan sebagai penasihat. Orang yang melakukan mediasi dinamakan
mediator. Sedangkan menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2016, mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu mediator.
Dalam
proses sistem peradilan pidana, membutuhkan waktu yang agak lama dan panjang
bahkan terkadang berbelit-belit, sehingga dibutuhkan sebuah terobosan hukum
yakni dengan mengunakan mediasi penal. Mediasi penal merupakan salah satu
bentuk dari pelaksanaan restorative justice. Mediasi penal merupakan sebuah
langkah terobosan hukum dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Mediasi penal
erat hubungan dengan restorative justice. Mediasi Penal merupakan salah satu
jalan alternatif untuk menyelesaikan perkara khususnya tindak pidana pencurian
ringan. Melalui mediasi penal proses penanganan perkara dilakukan secara
transparan sehingga dapat mengurangi penyimpangan yang seringkali terjadi dalam
proses peradilan pidana tradisional.
3.2 Saran
3.2.1 Membuat Undang-Undang tersendiri yang
mengatur mengenai Mediasi Penal dengan tindak pidana tertentu yang dapat
dilakukan mediasi penal.
3.2.2 Mediasi penal dilakukan dengan difasilitatori
oleh penegak hukum / Hakim yang bersertifikat dengan memperhatikan hak-hak
korban
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang
Sutiyoso, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Gama
Media, Yogyakarta, hlm. 56
Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002)
Desriza
Ratman, Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengkata Medik dengan Konsep WinWin
Solition, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), h.133
Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Mediasi di Pengadilan.
Wirjono
Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta,
2003, hlm. 2.
CSA
Teddy Lesmana, Mediasi Penal, Sebuah Transplantasi Hukum dalam Sistem Peradilan
Pidana, www.jambilawclub.com, diakses 17 Januari 2021 pukul 20.00 WITA
Jurnal
web : https://media.neliti.com/media/publications/35312-ID-mediasi-penal-sebagai-alternatif-penyelesaian-perkara-pencurian-ringan-studi-di.pdf
Diakses [online] pada 17 Januari 2021 pukul 21.00 WITA
[1]
Bambang Sutiyoso, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa,Gama Media, Yogyakarta, hlm. 56
[2]
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002)
[3]
Desriza Ratman, Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengkata Medik dengan Konsep
WinWin Solition, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), h.133
[4]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Mediasi di Pengadilan.
[5]
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002)
[6]
Desriza Ratman, Mediasi Non-Litigasi Terhadap Sengkata Medik dengan Konsep
WinWin Solition, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), h.133
[7]
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Mediasi di Pengadilan.
[8]
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Jakarta, 2003, hlm. 2.
[9] CSA
Teddy Lesmana, Mediasi Penal, Sebuah Transplantasi Hukum dalam Sistem Peradilan
Pidana, www.jambilawclub.com, diakses 17 Januari 2021 pukul 20.00 WITA
Comments
Post a Comment